idul adha 10 dzulhijjah (tahun ini)
Allahu akbar 3x Laa Ilaha illallah Allahu Akbar Walillahilhamd
“Aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah. Aku datang memenuhi PanggilanMu. Tiada Sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan hanya milikMu, dan juga kerajaan. Tiada Sekutu bagiMu.”
Adapun umat muslim lainnya yang tidak melaksanakan ibadah haji, ikut larut dalam meyambut hari besar hari raya Idul Adha, hari raya kurban. Seluruh umat muslim turut menggemakan kalimat takbir, kalimat tahmid sebagai wujud ketaatan dan pengakuan seorang hamba akan kebesaran dan keagungan Allah SWT, Tuhan semesta alam raya.
Hari raya Idul Adha atau hari raya kurban tidak dapat terlepas dari kisah teladan yang digambarkan dalam Al-Qur’an melalui seorang yang mulia yaitu Nabi Ibrahim AS yang mampu menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan anaknya Nabi Ismail dengan cara menyembelihnya. Namun, pada akhirnya tanpa diduga, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba yang gemuk. Sungguh sangat luar biasa, ujian yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Dapat kita bayangkan, seorang nabi pun mendapatkan ujian dari Allah SWT, apalagi kita sebagai manusia biasa. Hal ini, menunjukkan bahwasanya keislaman, keimanan dan ketakwaan kita akan terus diuji oleh Allah SWT untuk melihat di mana, pada level apa dan kualitas apa kita berada.
Pada kali ini hari raya Idul adha 1440 H. kita sebagai bangsa Indonesia sekaligus akan memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah kemerdekaan yang tidak dicapai dengan satu malam, namun butuh perjuangan selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun dan beratus-ratus tahun lamanya. Perjuangan pada pendahulu dan pejuang kita tersebut, tentu tanpa henti dan tak kenal lelah. Adapun pengorbanan para pejuang kita juga tak terhitung dan tak ternilai. Mereka berkorban fikiran, tenaga, waktu, anak, isteri, saudara, harta, bahkan jiwa raga turut dikorbankan. Sehingga, dengan rahmat Allah SWT dan pengorbanan para pejuang, Indonesia dapat meraih kemerdekaan.
Idul Adha ini adalah pelajaran pengorbanan, pengorbanan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam mengorbankan sesuatu yang paling dicintai karena Allah Azza wa Jalla.
Namun, bagi sebagian kita, mungkin berkorban adalah sesuatu yang tidak rasional, suatu hal yang tidak logis. Bagaimana mungkin, kita memberi dan mengorbankan harta kita yang telah kita raih dengan susah payah. Kok enak sekali, kita bekerja keras, banting tulang, kemudian kita korbankan untuk orang lain. Inilah mungkin logika banyak dimiliki manusia saat ini, maka pantaslah kita menyaksikan beragam krisis terjadi. Bagi orang Muslim, mu’min, logika tersebut adalah logika yang salah, Bagi orang Muslim, mu’min, logika yang benar adalah:
pertama: “pemberi rizki adalah Allah SWT”
Allah berfirman:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (Al-Dzariyat 56-58)
Jika pemberi rizki satu-satunya adalah Allah, jika pemberi kemudahan satu-satunya adalah Allah, maka jalan yang paling masuk akal untuk mendapatkan rezeki, mendapatkan kemudahan adalah dengan meminta kepada-Nya, berharap kepada-Nya.
Maka Allah berjanji, jika mau tambahan rizki dan kemudahan yang tidak dapat kamu bayangkan, maka jalannya adalah ketakwaan yaitu jalan mengikuti perintahNya, menjauhi laranganNya. Allah SWT berfirman.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Al-Thalaq 2-3).
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Al-Thalaq 4)
Kedua: orang muslim, mu’min meyakini bahwa “kadar rizki setiap orang sudah ditentukan”
Allah SWT berfirman.
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, (An-Nahl 71)
Jika kadar rizki sudah ditentukan berbeda-beda, maka apalah guna dengki hati, iri hati, sakit hati kepada orang lain. Toh semua sudah diberi jatah terbaiknya sesuai kadar keperluan dirinya, kadar keperluan keluarganya oleh Allah SWT. Bukankah Allah Maha Mengetahui segala kebutuhan kita?
Kalau rizki kita sudah dijamin dan ditentukan kadarnya oleh Allah, kenapa kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rizki, kenapa kita sibuk-sibuk menjerumuskan diri ke dalam pekerjaan yang dimurkai Allah. Sungguh sangat tidak masuk dalam logika seorang muslim, takut kelaparan, takut kekurangan, takut kekurangan karena meninggalkan pekerjaan yang haram, toh Allah sudah menjaminnya, toh kadar rizki kita juga sudah ditentukan. Dan tentunya, jika kadar rizki sudah dijamin dan ditentukan, kenapa kita enggan berkorban, karena pengorbanan yang keluarkan, tidak akan mengurangi sedikitpun kadar rizki kita, bahkan Allah berjanji akan menambahnya.
Ketiga: walaupun sudah ditentukan kadar rizki, orang muslim, mu’min faham betul bahwa “rizki harus dicari dan harus diusahakan”.
Allah SWT berfirman:
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Al-Jum’ah 10)
Jika pemberi rizki hanya Allah, kadar rizki sudah ditentukan dan kita diwajibkan untuk berusaha mencarinya, maka yang ada bagi kita hanyalah berusaha keras, bekerja keras, berfikir keras, berkarya besar. Pendek kata, yang perlu difikirkan oleh seorang muslim adalah bagaimana berkorban semaksimal mungkin karena Allah. Tidak perlu berfikir saya dapat apa? Dapat berapa? Toh hal itu Allah yang mengatur untuknya. Dalam bahasa pondok (jawa): Bondo, Bahu, Pikir, yen Perlu sak nyawane pisan. Inilah bahasa pengorbanan secara total, berkorban harta, tenaga, fikiran, kalau perlu nyawapun dikorbankan, demi amanah dari Allah SWT.
Maka dari itu, ciri seorang muslim adalah totalitas dalam menjalankan amanah yang sedang diembankannya, baik sebagai pemimpin, sebagai pendidik/pengajar, sebagai pegawai pemerintah maupun swasta, sebagai pedagang, sebagai petani, bahkan sebagai buruh kecilpun, Seorang muslim akan selalu berbuat total, berjuang dan berkorban. Bukan sebaliknya, mencari keuntungan sendiri, mengorbankan orang lain, dan bahkan mendzalimi orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Hal ini tidak perlu bagi seorang muslim, karena baginya, hanya Allah lah yang akan mencukupinya lahir batin, dunia dan akhirat.
Namun demikian, ujian terhadap logika Islam ini akan selalu ada, ujian terhadap pengorbanan yang kita lakukan, ujian terhadap keimanan dan ketakwaan kita, bahkan ujian terhadap keikhlasan akan terus ada. Allah dalam surat Yusuf mengabadikan nasehat Ya’kub kepada anak-anaknya
Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf 87)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
Dan bagi mereka yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ankabut: 69)
Lantas, sudahkan kita mau dan siap berkorban untuk umat, untuk bangsa, untuk pondok, dan untuk tempat yayasan anak yatim atau dhu’afa dengan lillahi ta’ala. Berkorban fikiran, tenaga, harta dan perasaan. Kesiapan diri untuk berkorban sangatlah ditentukan oleh idealisme, cita-cita dan orientasi hidup kita. Bila hidup kita, kita niatkan untuk berjuang dan memperjuangkan agama Allah, maka tidaklah akan terasa berat untuk berkorban. Ini adalah masalah keyakinan, keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, besar atau kecil. Keyakinan bahwa jika kita mau memikirkan orang lain, membantu orang lain, pasti Allah SWT akan memikirkan dan membantu kita. Apalagi jika kita siap memperjuangkan agama Allah, pastilah Allah akan menjamin hidup kita dan memperjuangkan urusan kita. Inilah logika religi, logika Allah SWT.
Sebaliknya, betapa akan terasa berat untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, bila kita menjadi manusia pragmatis (bermanfaat), individualis apalagi oportunis. Model manusia seperti ini, yang dipikirkan hanyalah mencari keuntungan materi dan keuntungan dirinya sendiri. Sikap hidupnya selalu berhitung untung rugi, kaya miskin, apa yang didapatkan, bukan apa yang dipersembahkan. Inilah musuh perjuangan, musuh pengorbanan. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang kaya karena pelit, dan miskin karena dermawan Pelit yang dimaksud tidaklah terbatas pada pelit terhadap materi, tetapi pelit terhadap fikiran, tenaga dan perasaan.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang Istiqomah dalam berjuang, berkorban dan berbuat baik di jalan Allah SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.